Powered By Blogger

Rabu, 06 Januari 2010

Merancang Gedung Ramah Lingkungan

GEDUNG-gedung tinggi di berbagai kota di Indonesia, tak satu pun yang mempunyai ciri bangunan iklim tropis apalagi yang berarsitektur khas Indonesia. Bangunan menjulang itu didesain berdasarkan pola arsitektur Barat, sehingga terlihat asing, tidak menyatu dengan lingkungan bangunan di sekitarnya.

Kenyataannya memang tidak mudah menerapkan arsitektur tropis pada gedung-gedung bertingkat tinggi di Indonesia karena pada tingkat-tingkat di bagian atas gedung, kaca jendela harus tertutup rapat untuk mencegah masuknya tiupan angin yang keras. Dengan begitu untuk mengatasi suhu udara yang pengap, maka pendingin ruangan atau AC harus dinyalakan.

Selain itu melindungi jendela dengan atap pelindung atau kanopi untuk mencegah masuknya sinar matahari ke dalam ruangan juga akan sulit dalam pemeliharaan. Untuk membersihkan tiap atap pelindung di tingkat tinggi dari debu diperlukan biaya mahal, karena harus menggunakan peralatan khusus dan berisiko bagi pekerja yang melakukannya.

Hal itu menjadi perhatian Jimmy Priatman, pengajar teknik arsitektur di Universitas Kristen Petra Surabaya, ketika merancang bangunan hemat energi sekaligus ramah lingkungan di Indonesia. Menurutnya meski sulit menerapkan konsep arsitektur tropis, gedung tinggi dapat dirancang agar efisien dalam penggunaan energi listrik, dan menekan penggunaan pendingin ruangan yang menggunakan CFC (khloro fluoro karbon) yang menyebabkan penipisan lapisan ozon di atmosfer.

Kunci dari penghematan energi pada gedung-gedung tinggi adalah melalui perencanaan selubung bangunan dan konfigurasi bentuk bangunan, termasuk luas jendela dan materialnya. Dengan demikian penggunaan listrik untuk AC dan penerangan dapat ditekan serendah mungkin. Penggunaan energi di gedung bisa mencapai 90 persen untuk AC dan lampu atau penerangan, jelas Jimmy, penerima Anugerah Kalyana Kretya untuk karyanya berupa gedung hemat energi, pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, Agustus lalu.

Dengan memilih bahan kaca dari jenis emisivity atau low e-glass dapat mengurangi 15 persen energi yang digunakan. Sedangkan bila menggunakan kaca dari bahan titanium bisa memantulkan 96 persen infra merah dan 77 persen sinar ultra ungu.

Tingkat penggunaan AC tergantung dari penempatan jendela, karena dari jendela masuknya sinar matahari ke dalam ruangan. Untuk itu jendela harus ditempatkan pada posisi yang bebas dari paparan sinar matahari langsung. Selain itu efisiensi listrik dicapai dari pemilihan lampu hemat energi, optimasi kerja lift dan pompa, serta meningkatkan efisiensi pendinginan AC.

Karya Jimmy antara lain Graha Pangeran, bangunan 14 lantai di kota Surabaya, mendapat penghargaan sebagai bangunan paling hemat energi di tingkat ASEAN. Penghematan energi yang dicapai dari rancangan itu bisa mencapai 45 persen.

Kini Jimmy yang juga dosen pascasarjana Manajemen Konstruksi Bangunan Universitas Kristen Petra, telah menyelesaikan desain arsitektur Graha Pangeran II yang konsepnya selain ramah lingkungan juga menggunakan bahan pendingin non-CFC yang tidak merusak ozon atau menimbulkan pemanasan global.

Graha Pangeran yang terdiri dari 14 lantai setiap meter persegi menggunakan listrik 144 kWh per tahun ini tergolong superefisien. Pada Graha Pangeran II kebutuhan listrik lebih rendah 10 persen. Di AS rancangan gedung mencapai 115 kWH/m2/th untuk 3 -4 lantai, urai Jimmy yang mendapat penghargaan ASEAN Energy Award dan ASEAN Center for Energy 2002.

Energi alternatif

Selain dari segi arsitektur, yaitu dengan dioptimalkan penerangan alami dan penghawaan alami pada bagian tertentu dari gedung, penghematan energi listrik juga dicapai dari penggunaan energi alternatif. Untuk pembangkitan energi di gedung dapat menggunakan teknologi sel surya fotovoltaik yang mendinginkan ruangan dan penerangan. Selain itu penggunaan energi panas matahari dilakukan untuk menjalankan chiller (atau mesin AC). Dalam hal ini sel surya dipilih karena sumber energi ini didapat dengan cuma-cuma di daerah tropis.

Konsep green building yang berkembang pesat di negara maju, juga diterapkan untuk mengurangi polusi udara di perkotaan. Caranya dengan memanfaatkan lansekap vertikal untuk penyerapan CO2. Dengan tingginya jumlah kendaraan bermotor di perkotaan, polusi gas CO2 tentunya tergolong tinggi. Gas pencemar ini secara global dalam kurun waktu lama telah diketahui akan cenderung menyebabkan peningkatan suhu muka bumi.

Emisi CO2 dari kendaraan itu akan naik ke lapisan udara atas. Bila gedung-gedung tinggi dapat ditanami tumbuhan yang menyerap gas karbon dioksida itu maka akan membantu mengurangi pencemaran di udara. "Kalau gedung punya vertical lanskap akan mengurangi polusi dalam kota," jelas Jimmy yang turut merancang gedung 110 lantai bernama Cityfront Tower di Chicago, untuk tesis masternya mengenai Energy Efficient Multyused Skyscraper.

Perancangan gedung itu dilakukannya di bawah bimbingan Prof David Sharpe dan Prof Myron Goldsmith, arsitek bangunan tinggi, Prof Enimeiri, ahli struktur bangunan tinggi, dan Prof Leonard Bihler, ahli bangunan tinggi hemat energi.

Sekarang bangunan itu dalam tahap pondasi. Bila selesai pembangunannya gedung itu akan menjadi gedung ke-10 tertinggi di dunia. Gedung itu mempunyai berbagai fungsi, tujuh lantai sebagai ritel, empat lantai kantor, 30 lantai hotel, 10 lantai apartemen, di bagian atas sebagai restoran, stasiun radio dan TV.

Gedung bioklimatik

Di kawasan ASEAN gedung bioklimatik yang ramah lingkungan, hemat energi, dan dapat mengurangi polusi udara, salah satunya ada di Malaysia, yang bernama Menara Mesiniaga. Gedung itu dirancang Ken Yeng.

Jenis tanaman yang ditanam di gedung-gedung tinggi itu syaratnya tahan terpaan angin berkecepatan tinggi pada ketinggian tertentu. Untuk menjamin kelangsungan hidup tanaman itu harus dirancang sistem penyiraman yang khusus. Penyiramannya berasal dari penyemprot yang airnya didapat dari daur ulang air limbah dari tempat cuci tangan, termasuk juga air limbah
dari WC yang diolah terlebih dulu dengan sistem tertentu. Penggunaan air limbah dari WC dimaksudkan untuk membuat tanaman menjadi subur.

Tanaman yang dipilih adalah dari jenis semak yang tahan panas, memerlukan sedikit air, namun banyak daun untuk meningkatkan daya serap CO2. Alternatif lain palem jenis tertentu untuk peneduh dan mereduksi panas matahari. Di Indonesia konsep ini sayangnya belum diterapkan. Pendidikan arsitektur untuk gedung hemat energi pun belum ada di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar